JAKARTA, iNews.id - Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD menanggapi pertanyaan publik yang membandingkan pelarangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), namun membiarkan praktik lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).
Mahfud MD menilai terdapat perbedaan dalam landasan hukumnya. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menyampaikan LGBT belum dilarang karena tidak memiliki asas legalitasnya dalam hukum pidana. Sedangkan pada kasus dilarangnya HTI-FPI itu melanggar undang-undang Ormas yang berjalan secara hukum administrasi.
"Kasus HTI-FPI itu masuk hukum administrasi negara, jadi ada sebuah organisasi yang melanggar Undang-undang Ormas," kata Mahfud dalam sambutan di Simposium Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Kementerian Hukum dan HAM, Rabu (18/5/2022).
Karena adanya pelanggaran asas legalitas dalam hukum administrasi negara, Mahfud mengungkapkan proses mekanisme penetapan keputusan sanksinya berbeda. Dia pun menuturkan pihak yang mendapatkan sanksi dalam hukum administrasi negara dapat menggugat keputusannya.
"Kalau dalam hukum administrasi negara itu sanksi dijatuhkan lebih dulu, yang dijatuhi sanksi boleh menggugat. Dan sudah menggugat namun kalah di dua pengadilan, di MK kalah, di PTUN kalah. Makanya itu beda," ujar Mahfud seperti ditayangkan via kanal youtube APHTN-HAN.
Kasus LGBT ini berbeda dengan pelarangan kedua ormas tersebut. Menurutnya, kasus LGBT itu belum ada larangannya.
"Kalau LGBT hanya dikatakan kamu tidak boleh kawin," ujar Mahfud menegaskan.
Terlebih, Mahfud MD menjelaskan landasan pelarangan hukum LGBT kurang tepat. Dia menjelaskan UU nomor 1 tahun 1974 yang sering dikutip sebagai larangan LGBT, itu bentuk landasan undang-undang hukum perkawinan.
"Undang-Undang itu betul memang melarang LGBT, tapi isinya itu menyatakan kalau Anda menikah sesama LGBT itu tidak sah perkawinannya, itu saja. Tidak boleh punya surat nikah, tidak boleh punya hak waris, tidak punya kartu suami istri, gitu loh. Bukan lalu untuk ditangkap," katanya.
Editor : Ahmad Hilmiddin