PROBOLINGGO, iNewsProbolinggo.id - Di tengah dinginnya udara pegunungan yang menusuk tulang, langit Bromo perlahan terang pada Rabu dini hari, 11 Juni 2025. Di waktu yang masih sangat pagi itu, ribuan umat Hindu dari Suku Tengger telah memadati lautan pasir Gunung Bromo.
Mereka membawa ongkek, atau sesaji berisi hasil bumi, ternak, dan berbagai persembahan lainnya—untuk mengikuti puncak upacara Yadnya Kasada 1947 Saka.
Upacara tahunan ini bukan sekadar ritual keagamaan. Ia adalah wujud syukur, penghormatan kepada leluhur, serta pengikat nilai-nilai spiritual dan budaya yang telah diwariskan turun-temurun.
Tahun ini, Yadnya Kasada terasa istimewa. Dua dukun pandita—tokoh spiritual yang memimpin upacara adat dan keagamaan di komunitas Tengger dikukuhkan, yaitu Sukadi dan Sutaji dari Desa Mororejo, Kecamatan Tosari, Kabupaten Probolinggo. Pengukuhan ini menjadi simbol keberlanjutan nilai-nilai adat dan regenerasi pemimpin spiritual di tengah masyarakat.
Prosesi diawali dengan pembacaan sejarah Kasada, mengingatkan kembali legenda Roro Anteng dan Joko Seger, leluhur Suku Tengger yang menjadi asal-usul ritual ini.
Setelah itu, satu per satu ongkek diusung menuju kawah Gunung Bromo. Di sinilah puncak ritual terjadi, pelarungan sesaji ke kawah, sebagai bentuk persembahan kepada Sang Hyang Widhi dan leluhur.
Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, turut hadir menyaksikan upacara. Kehadiran pejabat tinggi negara ini menjadi pengakuan atas pentingnya pelestarian budaya lokal sebagai bagian dari jati diri bangsa.
“Larung sesaji adalah wujud syukur atas rezeki, kesehatan, dan kedamaian yang diterima umat Hindu Tengger,” ujar Bambang Soeprapto, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kabupaten Probolinggo.
Tak hanya sebagai ritual keagamaan, Yadnya Kasada juga menyimpan sisi emosional bagi masyarakat. Shynta Shaeleo, warga Desa Ngadisari, merasakan kebahagiaan ganda.
Hari raya Kasada bertepatan dengan ulang tahun kedua anaknya, membuat doa-doa yang ia panjatkan semakin dalam dan penuh harap.
“Semoga tanah tetap subur, tidak ada pertikaian, dan kami terus mendapat berkah dari alam—dari hasil pertanian hingga peternakan,” tuturnya.
Di tengah gemuruh kawah dan suara doa yang lirih, Yadnya Kasada menjadi pengingat akan harmoni antara manusia, alam, dan leluhur. Sebuah warisan spiritual yang tak hanya bertahan, tetapi juga terus hidup di hati masyarakat Tengger.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait