Nun Abdul Jalil, Ulama’ Zuhud yang Sering Mengirim Surat ke Nabi Hidir dan Bertemu Rosulullah

Abd. Wahid
Nun Abdul Jalil merupakan Ulama' Zuhud dari Pesantren Zainul Hasan Genggong. (Dok. PZH Genggong)

PROBOLINGGO, iNews.id – Berbicara Pesantren Zainul Hasan juga tak terlepas dari Nun Abdul Jalil (panggilan mulia bagi kiai), begitulah sapaan akrab sosok kiai putra dari pasangan Kiai Ahmad Nahrawi dan Nyai Marfu’ah ini. Pernikahan beliau dengan nyai Mi’atun dikaruniai seorang putri bernama ruwaidah yang meninggal pada usia tujuh bulan.

Peristiwa meninggalnya putri beliau cukup ironis, jika kebanyakan para orang tua berdo’a untuk kesehatan dan keselamatan anaknya, beliau justru berdo’a agar putri semata wayangnya segera meninggal dan kembali ke sisi Allah S.W.T. beliau mendo’akan putrinya meninggal agar kelak di akhirat menjadi “wildan” (anak yang menunggu kehadiran orang tuanya untuk masuk surga).

Beliau wafat dalam usia 27 tahun pada selasa wage tanggal 1 Robi’ul Awal 1378 H yang bertepatan dengan tanggal 10 Juni 1967 M.

Di komplek pesantren Zainul Hasan Genggong, beliau dikenal sebagai kiai yang ‘alim dengan pesona kezuhudannya, hal tersebut dapat dilihat dari kehidupan sehari-harinya yang sangat sederhana.Dirumah yang hanya berdinding “gedek” (anyaman bambu) dengan lantai tanpa ubin dan beralaskan tikar yang telah robek disana-sini, bahkan tempat tidur beliaupun terbuat dari bambu tanpa kasur. Namun, beliau senantiasa hidup ikhlas dan selalu berserah diri kepada Allah sang pencipta alam semesta.

Kezuhudan beliau juga nampak pada pakaiannya yang compang-camping penuh tambalan. Jahitan demi jahitan baju dan sarung beliau sangat tidak rapih bahkan kontras antara benang jahitan dan baju yang ditambal. Dikalangan para santri dan masyarakat sekitar, beliau dikenal sebagai sosok kiai yang enggan memikirkan duniawi. Ketika beliau wafat pun hanya memiliki satu kain sarung saja, itupun kain sisa-sisa empat sarung lama beliau yang dijahit menjadi satu.

Sering Mengirim Surat Pada Nabi Hidir dan Bertemu Rosulullah SAW.

Umumnya seorang kiai yang menjadi kekasih Allah memiliki karomah baik disaat masih hidup maupun setelah wafat. Tidak asing lagi bagi para santri kuno pesantren Zainul Hasan Genggong mengenai kebiasaan Nun Abdul Jalil mengirim surat kepada nabi Khidir ‘alaihissalam melalui arus sungai yang berada disebelah barat pesantren Genggong. Pada saat-saat tertentu beliau senantiasa mengirimkan surat tersebut ketika sedang meminta rejeki kepada Allah. Jika surat yang beliau kirimkan dengan cepat terbawa arus sungai, maka hal itu merupakan sebuah isyarat bahwa beliau akan mendapatkan rizki. Namun jika surat yang beliau kirimkan melalui arus sungai tersebut hanya diam ditempat beliau melemparkannya, maka pertanda beliau belum mendapatkan rejeki dalam waktu dekat.

Selain kebiasan mengirimkan surat, sering kali nabi Khidir ‘alaihissalam hadir kerumah beliau baik melalui mimpi maupun hadir dalam dunia nyata. Melalui mimpi, Nun Abdul Jalil sering bertemu Rasulullah S.A.W. Tak heran jika dimasa itu setiap kali ada pejabat pemerintah berkunjung ke pesantren Zainul Hasan Genggong, beliau selalu keluar dari lingkungan pesantren. Pasalnya, jika beliau ikut terlibat dalam penyambutan tamu pemerintahan tersebut, Rasulullah S.A.W enggan kembali hadir dalam mimpi-mimpi beliau.

Pernah suatu ketika Rasulullah S.A.W cukup lama tidak hadir menemui beliau, kemudian KH. Mohammad Hasan Genggong memberikan isyarat seraya bertanya apakah beliau tidak pernah didatangi lagi oleh orang yang telah mati. Dengan ijin Allah, Rasulullah S.A.W kembali hadir menemui beliau. Dalam mimpinya, Rasulullah S.A.W pernah menegur beliau karena sempat memikirkan masalah duniawi.

Disaat itu beliau tengah menyewa sebidang tanah sawah berukuran kurang lebih dua ratus meter persegi kepada seseorang dengan rencana akan menggarap sawah tersebut untuk ditanami. Kemudian Rasulullah S.A.W hadir ketika beliau tidur dan menanyakan mengapa beliau masih mencintai dunia. Saat terbangun dan tanpa berpikir panjang beliau langsung menyerahkan tanah sawah yang baru saja beliau sewa kepada tetangganya untuk ditanami, beliau menyerahkan sepenuhnya tanpa meminta imbalan apapun.

Sering Dijadikan Tempat Memutuskan Hukum Fiqih

Dengan kondisi fisik yang memiliki kekurangan tersebut, tidak menjadikan Nun Abdul Jalil dipandang sebelah mata oleh sejumlah kalangan. Beliau sering terlibat dalam beberapa kesempatan untuk memutuskan persoalan hukum Islam pada masa itu. Bahkan beliau selalu dijadikan tempat bertanya pamandanya KH. Hasan Saifourridjal jika terdapat sebuah permasalahan hukum fiqih yang sulit untuk diputuskan.

Sebuah sumber menyatakan bahwa pamanda beliau sulit memutuskan sebuah hukum fiqih mengenai masa iddah seorang istri yang telah dicerai suaminya, sang istri mengaku bahwa dirinya belum pernah melakukan hubungan intim dengan suaminya, namun sang suami justru membantah bahwa dirinya pernah melakukan hubungan intim dengan istrinya. Ketika persoalan hukum fiqih tersebut tidak dapat diputuskan oleh para ulama’ dimasa itu, beliau dengan tegas menyatakan bahwa sang istri yang telah diceraikan oleh suaminya tersebut tidak ada masa iddahnya dan boleh dinikahi oleh laki-laki lain.

Pada tahun 1962, terjadi sebuah perbedaan pendapat yang melibatkan sejumlah ulama’ pada masa itu. Perselisihan pendapat terjadi antara KH. Hasan Saifourridjal pengasuh pondok Genggong, KH. Zaini Mun’im pengasuh pondok Nurul Jadid, dan KH. As’ad Syamsul Arifin pengasuh pondok Sukorejo Situbondo. Ketika itu ketiganya adalah pengurus Nahdlatul Ulama’, ketiganya terlibat perselisihan mengenai kontroversi boleh-tidaknya kaum perempuan memainkan drum band.

Perlu diketahui pada masa itu merupakan masa penjajahan kolonial Belanda, dimana drum band biasa digunakan oleh orang Belanda sebagai media musik penyambutan tamu dan perang. Persoalan hukum fiqih tersebut semakin rumit dipecahkan karena antara KH. Hasan Saifourridjal yang menghukumi boleh dan KH. Zaini Mun’im yang menghukumi haram perempuan memainkan drum band menggunakan referensi yang sama-sama kuat dan meyebabkan keputusan hukum fiqih tersebut sempat tertunda beberapa saat.

Akhirnya disuatu pagi sekitar pukul 9 Nun Abdul Jalil mendatangi kiai As’ad Syamsul Arifin di Situbondo, beliau menanyakan bagaimana hukum yang benar sesuai dengan keputusan Rasulullah S.A.W. kiai As’ad Syamsul Arifin menyatakan bahwa Rasulullah S.A.W memutuskan boleh kaum perempuan memainkan drum band. Rupanya Rasulullah S.A.W telah terlebih dahulu hadir kepada ulama’ sepuh pengasuh pondok Sukorejo tersebut, kiai As’ad Syamsul Arifin menceritakan bahwa ketika Rasulullah S.A.W menemui beliau didampingi oleh KH. Mohammad Hasan Genggong dan kiai Ahmad Nahrawi Genggong yang tak lain adalah ayahanda Nun Abdul Jalil.

Editor : Ahmad Hilmiddin

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network