Dari ketiga pendapat tersebut, yang dianggap paling kuat (rajih) adalah pendapat ketiga. Alasannya adalah sebagai berikut:
Pertama, hukum asal syariat ini berlaku umum untuk Rasulullah dan seluruh umatnya, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan pengkhususan atau pengecualian.
Dalam konteks shalat ghaib, tidak ada satupun hadis shahih dan tegas yang menyatakan bahwa shalat ini hanya berlaku khusus untuk Nabi shallallahu’alaihi wasallam.
Hal ini berdasarkan keterangan dari Imam Nawawi berikut,
مذهبنا جواز الصلاة على الغائب عن البلد ، ومنعها أبو حنيفة . دليلنا حديث النجاشي وهو صحيح لا مطعن فيه وليس لهم عنه جواب صحيح
Mazhab fikih kami berpandangan shalat ghaib disyariatkan untuk jenazah yang tidak hadir di tempat kita. Imam Abu Hanifah melarang shalat ghaib. Dalil kami adalah hadis tentang kisah raja Najasi. Hadis ini statusnya shahih, tidak ada kecacatan. Dan mereka yang berpendapat shalat ghaib berlaku untuk Nabi saja, tidak memiliki sanggahan yang benar. (Lihat : Al-Majmu’ 5/211, dikutip dari Islamqa)
Kedua, pada zaman Nabi shallallahu’alaihi wasallam, banyak sahabat Nabi yang meninggal dunia. Namun, tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi mensholati mereka yang meninggal di luar Madinah dengan shalat ghaib. Satu-satunya hadis shahih yang mengisahkan shalat ghaib Nabi adalah hadis mengenai shalat ghaib beliau untuk Raja Najasi. Pada saat itu, tidak ada seorang pun yang mensholati jenazah beliau karena beliau meninggal di negeri Nasrani.
Ketiga, hukum sholat jenazah adalah fardhu kifayah. Maka bila telah ada yang mensholatkan, walau hanya satu orang, kewajiban ini telah gugur.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta