PAMEKASAN, iNewsProbolinggo.id - Mungkin tidak banyak yang mengenal sosok M Tabrani sebagai orang yang memberikan nama bagi bahasa Indonesia di kalangan masyarakat Indonesia.
Sosok M Tabrani merupakan salah satu tokoh asal Jawa Timur yang akan diberikan gelar Pahlawan Nasional pada peringatan Hari Pahlawan Nasional, Jumat 10 November 2023 mendatang oleh Presiden Joko Widodo.
Hal itu diketahui melalui surat edaran Kementerian Sosial Republik Indonesia, Nomor : R-09/KSN/SM/GT.02.00/11/2023.
Lahir pada 12 Oktober 1904 di Pamekasan, Madura, nama lengkapnya adalah Mohammad Tabrani Soerjowitjitro atau lebih dikenal dengan M. Tabrani S. Dia adalah seorang jurnalis dan politikus Indonesia. Tabrani terkenal sebagai seorang wartawan yang memiliki peran di berbagai media massa seperti Hindia Baroe, Pemandangan, Suluh Indonesia, Koran Tjahaja, dan Indonesia Merdeka.
Dikutip dari Okezone, M Tabrani diakui sebagai seorang wartawan senior yang juga merupakan tokoh awal dalam penggunaan bahasa Indonesia.
Selama perjuangan nasional Indonesia, nama M. Tabrani selalu tercantum. Dia dikenal sebagai salah satu tokoh Jong Java dan sebagai pemimpin redaksi Harian Pemandangan dari Juli 1936 hingga Oktober 1940.
Pendidikannya dijalani di MULO dan OSVIA. Minatnya dalam bidang jurnalisme muncul ketika menyelesaikan OSVIA. Pada tahun 1925, Tabrani sudah menjadi pimpinan redaksi harian Hindia Baroe.
Ketika berada di Eropa, di Universitas Köln (Universitas zu Koln), dia membantu beberapa surat kabar Indonesia pada rentang waktu 1926 hingga 1930.
Pada masa itu, hanya sedikit pemuda Indonesia yang mengejar pendidikan jurnalistik di luar negeri, di antaranya adalah Djamaluddin Adinegoro, Jusuf Jahja, dan Tabrani.
Setelah kembali ke Indonesia, karier jurnalistik Tabrani meningkat pesat. Salah satu momen penting adalah ketika dia mengusulkan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, yang berbeda dengan pandangan M. Yamin yang menginginkan bahasa Melayu.
Dalam Kongres Pemuda I, Tabrani memandang bahasa Indonesia sebagai bahasa yang bisa menyatukan bangsa.
Konsep kesatuan bangsa yang dia ajukan mengacu pada realitas keberagaman masyarakat Indonesia yang pada waktu itu masih cenderung terpaku pada identitas daerah atau suku, sebagaimana terlihat dalam organisasi pemuda pada masa tersebut.
Dalam kongres tersebut, Tabrani berbeda pendapat dengan Mohammad Yamin yang ingin menggunakan Bahasa Melayu.
Menurut pandangan Tabrani pada saat itu, ketika sudah ada Tanah Air Indonesia, Bangsa Indonesia, maka bahasa yang cocok adalah Bahasa Indonesia.
Tabrani menjadi pemimpin majalah Revue Politik di Jakarta dari tahun 1930 hingga 1932, dan memimpin surat kabar Sekolah Kita di Pamekasan dari tahun 1932 hingga 1936. Dia juga menjadi direktur dan pemimpin Harian Pemandangan dan Mingguan Pembangunan. Ketika memimpin Revue Politik, Tabrani mengadvokasi kepentingan Partai Rakyat Indonesia (PRI) yang ia dirikan.
PRI mendapat tantangan dari kalangan pemuda mahasiswa yang merasa bahwa PRI kurang revolusioner.
Tabrani menjabat sebagai pemimpin redaksi Surat Kabar Pemandangan selama dua periode, yaitu dari 1936 hingga 1940 dan kemudian dari 1951 hingga 1952. Perannya sangat terkait dengan surat kabar tersebut.
Melalui Pemandangan, Tabrani memperjuangkan Petisi Sutardjo pada tahun 1936 yang menuntut Pemerintah Hindia Belanda memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk membentuk parlemen sendiri.
Pada tahun 1940, Tabrani bergabung dengan Dinas Penerangan Pemerintah dalam bagian jurnalistik dan kemudian pindah ke bagian kartotek dan dokumentasi.
Pada tahun yang sama, dia menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Djurnalis Indonesia (PERDI) di Jakarta dari tahun 1939 hingga 1940.
Ketika Indonesia merdeka, ia mengelola Koran Suluh Indonesia yang dimiliki oleh Partai Nasional Indonesia.
Selama hidupnya, Tabrani turut mendirikan Institut Jurnalistik dan Pengetahuan Umum bersama Mr. Wilopo di Jakarta. Di antara murid-muridnya terdapat Anwar Tjokroaminoto dan Sjamsuddin Sutan Makmur. Tabrani meninggal di Jakarta pada tanggal 12 Januari 1984, pada usia 80 tahun, dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Editor : Suriya Mohamad Said