PROBOLINGGO, iNews.id - Dalam Islam, takabur tergolong salah satu penyakit hati yang benar-benar harus diperangi dan dijauhi. Bahkan penyakit hati yang satu ini sudah banyak disinggung dalam Al-Quran.
Oleh karenanya, jangan sampai kita berjalan dengan gaya jalan penuh dengan kesombongan, karena kita tidak akan menembus bumi dengan injakan dan kuatnya pijakan kaki kita. Kita juga tidak akan mencapai ketinggian gunung dengan kesombongan kita, dan tidak akan menyamai kekuatan dan kekokohan gunung tersebut.
Takabur seperti ditegaskan oleh Nabi SAW: “Takabur adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain” (HR Muslim).
Berdasarkan hadits ini, orang yang takabur itu dua macam. Pertama, seseorang yang menolak kebenaran yang disampaikan orang lain, padahal ia tahu bahwa kebenaran ada pada orang tersebut. Ia menolaknya karena orang yang menyampaikan kebenaran itu lebih muda darinya, atau lebih rendah kedudukannya, sehingga ia merasa berat untuk mengikuti kebenaran itu.
Padahal seperti diketahui, Fir’aun tidaklah binasa kecuali karena sifat takaburnya. Fir’aun telah melihat sekian banyak mu’jizat Nabi Musa AS, namun ia tidak beriman kepada Nabi Musa AS. Bahkan Haman, perdana menteri Fir’aun ketika itu berkata kepada Fir’aun: “Jika engkau beriman kepada Musa, maka engkau akan kembali menjadi hamba yang menyembah, padahal selama ini engkau sudah menjadi tuhan yang disembah.”
Demikian pula Bani Isra’il yang diutus kepada Nabi Isa AS. Setelah mereka melihat mu’jizat Nabi Isa AS, tidak ada yang membuat mereka tidak beriman kecuali sifat takabur mereka. Mereka selalu mengatakan bahwa jika merekaberiman, maka akan lenyaplah kehormatan dan kekuasaan mereka.
Demikian pula Abu Lahab dan tokoh-tokoh kafir Quraisy. Setelah mereka melihat mu’jizat Al-Quran dan mengakui bahwa Al-Quran tidak seperti puisi dan prosa yang mereka kenal, tidak ada yang membinasakan mereka dan membuat mereka tidak beriman kecuali sifat takabur mereka.
Kedua, orang takabur adalah seseorang yang menganggap dirinya memiliki keistimewaan yang melebihi orang lain. Ia melihat dirinya dengan pandangan kesempurnaan dan penuh kebaikan. Ia lupa bahwa itu semua sejatinya adalah pemberian Allah kepadanya.
Dengan itu, ia lalu bersikap congkak kepada sesama hamba Allah dan merendahkan mereka, karena menurutnya ia jauh lebih tinggi martabatnya, lebih banyak hartanya atau lebih tampan daripada mereka.
Merendahkan orang lain tidak hanya bisa dilakukan oleh orang kaya dan penguasa saja. Sebaliknya bisa juga dilakukan oleh siapa pun. Seorang suami bisa saja menganggap istrinya tidak memahami suatu persoalan, sehingga dia merendahkan istrinya dalam hatinya, dan berperilaku sombong kepadanya tanpa ia sadari.
Seorang ayah bisa saja menganggap anaknya lebih rendah darinya dalam pengetahuan dan pengalaman, sehingga ia merendahkan anaknya dalam hatinya tanpa ia sadari. Allah telah melarang sifat takabur terhadap sesama hamba.
Saat mengisahkan nasihat Lukman kepada anaknya, Allah SWT berfirman: janganlah engkau berpaling dari mereka dengan bersikap sombong, menghadaplah kepada mereka dengan mukamu, jangan engkau hadapkan kepada mereka separuh bagian mukamu dan pipimu seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang bersikap congkak dan sombong. Jangan engkau berjalan dengan gaya jalan yang penuh kesombongan, kecongkakan dan rasa bangga diri.
Virus takabur ini jangan sampai menyerang hati, karena bisa merusaknya. Untuk itu, diperlukan introspeksi untuk menghilangkan sifat takabur. Karena kita sama sekali tidak pantas menyombongkan dan membanggakan diri kita. Sekuat apa pun, sehebat apa pun, sekaya apa pun, sekuasa apa pun, setinggi apa pun jabatan seseorang, suatu saat nanti pasti ia akan dikalahkan oleh kematian.
Seseorang yang selalu memantau dan mengawasi hatinya serta terus menerus berusaha untuk menghindarkannya dari virus takabur, maka ia akan meyakini bahwa kecerdasan, ilmu, harta dan jabatannya, sejatinya bukanlah berasal dari dirinya. Tapi itu semua adalah karunia yang Allah yang dianugerahkan kepada dirinya. Karenanya, mari belajar bersama-sama untuk memerangi virus takabur yang bisa mematikan hati. Wallahu a’lam bisshawab.
Editor : Ahmad Hilmiddin