PROBOLINGGO, iNewsProbolinggo.id - Pernyataan Presiden Joko Widodo pada Januari 2024 yang menyatakan bahwa presiden boleh memihak capres di pemilu memicu polemik. Di satu sisi, beberapa pihak mendukung hak politik presiden sebagai individu. Di sisi lain, muncul kekhawatiran akan penyalahgunaan kekuasaan dan pengaruh presiden.
Landasan Hukum
Secara hukum, UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 tidak secara eksplisit melarang presiden memihak capres. Pasal 299 ayat (1) justru memberikan hak kepada presiden dan wapres untuk melaksanakan kampanye.
Namun, terdapat aturan lain yang perlu dipertimbangkan, seperti:
- Pasal 7 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang mewajibkan presiden untuk bersikap netral dalam menjalankan tugasnya.
- Kode Etik Penyelenggara Pemilu yang melarang pejabat negara menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye.
Pandangan Pakar
Para pakar hukum dan politik memiliki pandangan beragam terkait isu ini. Ada yang berpendapat bahwa presiden tidak boleh memihak karena dapat memicu ketidakadilan dan polarisasi politik. Di sisi lain, ada pula yang berpandangan bahwa presiden berhak atas pilihan politiknya selama tidak menggunakan fasilitas negara.
Etika Politik
Terlepas dari legalitasnya, keberpihakan presiden di pemilu dapat menimbulkan pertanyaan etika politik. Kekhawatiran utama terletak pada potensi penyalahgunaan kekuasaan dan pengaruh presiden untuk memenangkan kandidat pilihannya. Hal ini dapat mengganggu netralitas dan transparansi proses pemilu.
Kesimpulan
Isu keberpihakan presiden di pemilu merupakan isu kompleks yang melibatkan aspek hukum, politik, dan etika. Diperlukan diskusi dan kajian mendalam untuk menemukan solusi yang adil dan bermartabat bagi demokrasi Indonesia.
Editor : Ahmad Hilmiddin