JAKARTA, iNews.id - Bagi penganut aliran Budha Tantra atau Tantrayana, ritual puja atau memuja Bhairawa adalah memuja kehebatan atau kesaktian dengan cara-cara khusus.
Ritual Bhairawa pernah dilakukan Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari. Raja Kertanegara kala itu bersama para patihnya didapati sedang berpesta pora. Mereka makan dan minum sebanyak-banyaknya, mabuk-mabukan hingga bersetubuh dengan para perempuan sepuasnya.
Raja Kertanegara lengah, dengan mudahnya mereka diserang tentara Kediri. Raja Kertanegara disebut-sebut tewas dibunuh oleh tentara Kerajaan Kediri dalam sebuah pesta besar.
Paham Bhairawa secara khusus berkembang hingga ke China, Tibet, dan Indonesia. Di nusantara masuknya Saktiisme, Tantrisma dan Bhairawa, dimulai sejak abad VII melalui Kerajaan Sriwijaya di Sumatera, sebagaimana diberikan terdapat pada prasasti Palembang tahun 684, berasal dari India Selatan dan Tibet.
Dari bukti peninggalan purbakala dapat diketahui ada tiga peninggalan purbakala, yaitu Bhairawa Heruka yang terdapat di Padang Lawas Sumatra Utara, Bhairawa Kalacakra yang dianut Kertanegara–Raja Singasari Jawa Timur, serta oleh Adityawarman pada zaman Gajah Mada di Majapahit, dan Bhairawa Bima di Bali yang arcanya kini ada di Kebo Edan – Bedulu Gianyar.
Dalam upacara memuja Bhairawa yang dilakukan oleh para penganut aliran Tantrayana yaitu cara yang dilakukan oleh umat Hindu/Budha untuk dapat bersatu dengan dewa pada saat mereka masih hidup.
Karena pada umumnya, mereka bersatu atau bertemu dengan para dewa pada saat setelah meninggal sehingga mereka melakukan upacara jalan pintas yang disebut dengan upacara ritual Pancamakarapuja.
"Pancamakarapuja adalah upacara ritual dengan melakukan 5 hal yang dilarang dikenal dengan 5 Ma, Mada atau mabuk-mabukan, Madura atau tarian melelahkan hingga jatuh pingsan. Mamsa atau makan daging mayat dan minum darah. Matsya atau makan ikan gembung beracun dan Maitunaatau bersetubuh secara berlebihan," papar Suwarna, budayawan Bali.
Editor : Sazili Mustofa