PROBOLINGGO, iNews.id - Syubbanul Muslimin merupakan Majelis Ta’lim dan Salawat yang berdiri pada 26 November 2005. Berdirinya majelis ini di prakarsai oleh putra keenam almarhum KH. Nuruddin Musyiri, pengasuh Ponpes Nurul Qadim, Desa Kalikajar Kulon, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, ia melihat pemuda sekitar banyak berubah. Baik itu akhlak, maupun perilakunya. Termasuk suka minum-minuman keras (miras).
Kondisi itu membuat Gus Hafidz panggilannya, yang baru pulang dari mondok di Ponpes Lirboyo Kediri pada tahun 2005 tersentuh hatinya. Dia ingin memperbaiki kehidupan para pemuda desa melalui jalan dakwah.
Namun, bukan dengan cara keras. Dia memilih cara halus, yaitu melalui salawatan. Gus Hafidz merangkul 40 pemuda desa sekitar Ponpes Nurul Qadim. Mereka diajak mengikuti dakwah dan salawatan dari rumah ke rumah. Dalam menjalankan kegiatannya itu, mereka didampingi sejumlah santri ponpes setempat sebagai penabuh hadrah.
“Awal berdiri anggota majelis 40 orang. Mereka adalah para pemuda jalanan dari desa sekitar pondok. Jadi mereka bukan santri. Mereka saya rangkul untuk mengikuti salawatan dari rumah ke rumah saat itu,” ujar Khodimul Majelis Ta’lim dan Salawat Syubbanul Muslimin, kelahiran 20 Januari 1985 itu.
Dakwah pada para pemuda jadi fokus Gus Hafidz. Sebab, selama ini dakwah kebanyakan difokuskan pada kaum menengah ke atas atau orang tua. Sementara anak muda, jarang disentuh.
“Kami hadir untuk merangkul para pemuda dengan nama Syubbanul Muslimin. Artinya, pemuda Islam. Nama itu pemberian abah, almarhum KH. Nuruddin Musyiri,” lanjutnya.
Ternyata misinya memperbaiki akhlak para pemuda jalanan itu mendapat simpati luar biasa dari masyarakat. Seiring berjalannya waktu, anggota atau jamaahnya terus bertambah. Ibarat virus, jamaahnya terus menular dari satu desa ke desa yang lain. Hingga mencapai lebih dari 15 ribu jamaah saat ini.
“Setiap menggelar rutinan acara besar, minimal jamaah yang hadir 10 ribu lebih,” katanya.
Bahkan, virus salawat yang dibawanya tidak hanya menular cepat di sejumlah daerah di Indonesia. Namun, juga sampai keluar negeri.
“Syubbanul Muslimin juga pernah diundang ke sejumlah negara. Di antaranya, Malaysia dan Singapura. Bahkan, pernah salawatan di Guangzhou, China. Tiap tahun kami ada undangan ke Hongkong dan Taiwan,” jelasnya.
Gus Hafidz mengungkapkan, Majelis Ta’lim dan Salawat Syubbanul Muslimin juga memiliki tim multimedia. Tim ini dihuni 15 orang. Mereka awalnya adalah pemuda jalanan yang direkrut. Keberadaan tim multimedia, tidak terlepas dari keinginan Gus Hafidz untuk mendokumentasikan setiap gelaran salawatan. Sekaligus sebagai media dakwah.
Awalnya, pada tahun 2013 Gus Hafidz menyadari masyarakat banyak yang memiliki smartphone, bahkan mulai kecanduan. Akhirnya, ia mulai tertarik pada dunia multimedia.
“Saya bilang kepada santri, kita harus bisa menguasai multimedia. Daripada dipegang dan dikuasai kaum ekstrimis dan liberal,” katanya.
Semula untuk dokumentasi salawatan dipakai handphone. Semua kegiatan majelis diprotret menggunakan kamera handphone. Lalu, di-upload di facebook. Ternyata tanggapan masyarakat bagus.
“Akhirnya kami beli laptop. Tujuannya, sebagai sarana belajar dan agar lebih mudah meng-upload video atau foto ke facebook. Hingga akhirnya, ada seseorang yang memberikan sebuah handycam,” tuturnya.
Selain itu, Gus Hafidz juga nekat membeli kamera DSLR bekas merek Nikon seharga Rp 29 juta. Karena ingin mengembangkan multimedia.
Dari sebuah kamera DSLR itu, tim multimedia kemudian belajar fotografi. Beliau Gus Hafidz mengundang fotografer untuk memberikan kursus ilmu fotografi kepada tim multimedia. Termasuk mendatangkan seorang videografer untuk belajar pengambilan video beserta belajar editing video.
“Lima belas anak yang saya rekrut di tim multimedia tersebut awalnya tidak tahu apa-apa tentang fotografi dan videografi. Pernah, pada awal belajar anak-anak diajak ke pasar untuk belajar motret. Dari hasil motret di pasar itu, sang fotografer menunjukkan beberapa anak yang memiliki bakat. Tapi, tetap 15 anak itu kami rekrut semua,” katanya.
Seiring berjalannya waktu, kemampuan tim multimedia terus berkembang. Didukung dengan sarana dan prasarana yang juga semakin lengkap. Kualitas hasil jepretan foto maupun editing videonya semakin bagus.
“Video juga kami unggah ke YouTube. Waktu itu, niatan kami hanya ingin titip video ke YouTube agar tidak hilang,” katanya.
Dari hanya sekadar titip file video itu, ternyata respons positif masyarakat terus bermunculan. Melihat hal tersebut, akhirnya pada tahun 2016, YouTube channel yang bernama Majelis Syubbanul Muslimin itu dikembangkan. Mulai penambahan kamera, lensa, peralatan untuk editing video, dan peralatan pendukung lainnya.
Lalu, Gus Hafidz juga membeli sebuah CPU seharga Rp 70 juta untuk mendukung editing video. Termasuk perlengkapan mobile live berupa komputer untuk live streaming seharga Rp 60 juta.
“Kalau dikalkulasi peralatan multimedia ini biaya yang dikeluarkan sudah ratusan juta, Alhamdulillah subscriber channel YouTube sudah mencapai banyak juga,” ungkapnya.
Sejauh ini jumlah personel yang tergabung dalam keseluruhan tim Majelis Ta’lim dan Salawat Syubbanul Muslimin sekitar 450 sampai 500 orang. Mereka terbagi dalam sejumlah tim. Di antaranya, tim sound system dan panggung, tim dekorasi, tim keamanan, tim patwal, tim kesehatan, hingga tim montir yang siap membantu jika ada kendaraan jamaah yang bermasalah.
“Semuanya adalah relawan. Di dalamnya juga ada tim hadrah, sebanyak 28 orang. Kami juga memiliki tim koperasi yang mengelola Syubband Shop. Koperasi ini termasuk yang membantu pendanaan kami. Dalam waktu satu tahun, pendapatan bersihnya bisa mencapai Rp 200 juta bahkan lebih. Dan semua yang kami lakukan ini adalah dari santri untuk negeri,” pungkasnya.
Editor : Ahmad Hilmiddin