PROBOLINGGO, iNewsProbolinggo.id – Perayaan Yadnya Kasada yang merupakan ritual tahunan Suku Tengger yang beragama Hindu di kawah Gunung Bromo berlangsung lancar.
Upacara Yadnya Kasada adalah ritual kurban ke kawah Gunung Bromo yang digelar setahun sekali setiap bulan Kasada hari ke-14 dalam penanggalan kalender tradisional Hindu Tengger.
Namun dalam perayaan Yadnya Kasada 2023 ini, tidak disertai dengan pengukuhan dukun pandita. Hal tersebut dikarenakan, sebanyak 57 dukun dari 4 wilayah masyarakat Suku Tengger masih genap.
Untuk pelaksanaan upacara masih sama, yakni di Pura Luhur Poten, areal lautan pasir Gunung Bromo.
Usai melangsungkan ritual di pura setempat, masyarakat Suku Tengger selanjutnya membawa sesajen berupa makanan, ternak, hasil pertanian dan hasil buminya.
Setelah itu, sesajen tersebut dilarung ke kawah Gunung Bromo sebagai persembahan untuk Dewa Brahma.
Pelarungan sesaji tersebut dipercaya sebagai bentuk syukur Suku Tengger atas nikmat dan rezeki yang sudah didapat.
Selain itu, tradisi ini juga dipercaya dapat menghindarkan dari musibah, serta diberi kemakmuran oleh leluhur.
Sementara itu sesaji yang yang dilarung ke kawah Bromo akan diperebutkan oleh puluhan orang usai dukun, tokoh masyarakat dan warga Suku Tengger memanjatkan doa meminta keselamatan, keberkahan, dan kesejahteraan.
Sebelum sesaji dilempar, jajanan dan makanan beserta lauk-pauknya diletakkan di bibir kawah. Di atas makanan tersebut, dupa ditancapkan dan dinyalakan.
Ketua Perisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Bambang Suprato mengatakan, memang tidak ada pengukuhan dukun pada upacara Yadya Kasada kali ini.
"Ya, karena para dukun masih lengkap dari 4 daerah ini,” terangnya, pada Senin (5/6/2023).
Untuk 57 dukun pandita dari 4 daerah itu, meliputi ; Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Lumajang, Malang, dan Pasuruan. Dan seluruhnya, masih dinyatakan lengkap di setiap desanya.
"Sehingga perayaan Yadnya Kasada kali ini, tanpa ada pengukuhan dukun pandita,” tambahnya.
Sementara tokoh masyarakat Suku Tengger, Supoyo mengatakan, selama proses ritual berlangsung, hanya penduduk lokal yang memenuhi kawasan lautan pasir dan bibir kawah Gunung Bromo.
"Dengan ditutupnya wisata, masyarakat Suku Tengger bisa menjalani prosesi ritual dengan tenang, jadi kita terapkan saja metode tersebut, meskipun masa pandemi telah usai,” terangnya.
Termasuk untuk pedagang, sebut Supoyo, juga dibatasi. Pedagang yang diperbolehkan berjualan, hanya pedagang yang menjual makanan tradisional seperti gipang, dan properti perlengkapan upacara saja."
"Jadi untuk pedagang yang hendak berjualan selain makanan dan perlengkapan upacara, tidak kita perbolehkan, agar suasana di sekitar Pura Luhur Poten bisa kondusif," jelasnya.
Editor : Ahmad Hilmiddin
Artikel Terkait