PROBOLINGGO, iNews.id - Tiap orang untuk senantiasa menghindari perbuatan ghibah alias menggunjing keburukan atau kekurangan orang lain. Ghibah adalah tindakan merusak kehormatan sesama tanpa hak, dan di era media sosial perbuatan tercela ini semakin terfasilitasi dan mudah tersebar.
Meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, dengan melakukan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh yang diharamkan. Salah satunya adalah Gibah.
Ghibah (menggunjing keburukan dan kekurangan orang lain) adalah salah satu maksiat yang diharamkan oleh Allah dan penyakit berbahaya yang dapat meruntuhkan kerukunan, persatuan dan ketenteraman masyarakat. Akhir-akhir ini, ghibah semakin marak dilakukan.
Jika dulu ghibah hanya dilakukan oleh sekumpulan orang di tempat-tempat tertentu yang terbatas, saat ini seiring menjamurnya media sosial ghibah semakin gencar dilakukan. Ghibah online melalui media sosial sama dosanya dengan ghibah offline.
Ironinya, masih banyak yang seringkali melakukan ghibah tanpa mereka sadari. Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: Tahukah kalian apakah ghibah itu? Para sahabat menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.
Nabi juga bersabda: “Ghibah adalah ketika engkau menyebut saudara (muslim)mu dengan sesuatu yang tidak ia sukai.” Ditanyakan kepada Baginda Nabi: Wahai Rasulullah, Jika pada saudaraku itu memang terdapat apa yang aku katakan? Nabi menjawab: “Jika padanya terdapat apa yang engkau katakan maka engkau telah melakukan ghibah kepadanya, dan jika tidak terdapat padanya apa yang engkau katakan maka engkau telah melakukan buhtan kepadanya” (HR Muslim).
Buhtan adalah menuduh seseorang dengan sesuatu yang tidak ada padanya. Buhtan lebih besar dosanya daripada ghibah karena buhtan mengandung unsur kebohongan.
Menggunjing keburukan orang lain, diserupakan dengan memakan daging saudara sesama Muslim yang telah meninggal. Bagi siapa pun, hal itu tentulah sangat menjijikkan. Begitu pula dengan ghibah, semestinya orang juga jijik untuk melakukannya.
Jadi ghibah adalah membicarakan saudara sesama Muslim yang masih hidup atau sudah meninggal, kecil maupun dewasa, mengenai keburukan yang ada padanya, yang tidak ia sukai seandainya ia mendengarnya. Baik keburukan yang dibicarakan itu terkait dengan fisik, nasab (asal usul keturunan), pakaian, rumah, atau perilakunya.
Hal itu seperti ucapan: “Si Fulan pendek, kurang adab, pakaiannya kotor, kalah dan takut sama istrinya” dan kalimat-kalimat lain yang serupa, yang diketahui bahwa orang yang dibicarakan tidak suka akan hal itu seandainya ia mendengarnya.
Apakah ghibah termasuk dosa besar atau dosa kecil? Hukumnya dirinci sebagai berikut. Jika ghibah dilakukan terhadap orang yang shaleh dan bertakwa, maka tergolong dosa besar. Sedangkan ghibah terhadap selain orang yang bertakwa, maka tidak dikatakan secara mutlak sebagai dosa besar. Akan tetapi jika seorang Muslim yang fasiq digunjing keburukannya hingga batas yang berlebihan, maka hal itu termasuk dosa besar. Seperti berlebihan dalam menyebutkan keburukan-keburukannya hanya untuk kesenangan mengobrol saja.
Dengan makna inilah dipahami hadits riwayat Abu Dawud dari Sa’id bin Zaid bahwa Nabi SAW bersabda: “Sungguh termasuk dosa yang serupa dengan riba yang paling parah adalah ketika seseorang berlebihan dalam menodai kehormatan seorang Muslim tanpa hak” (HR Abu Dawud).
Istithalah (berlebihan dalam menodai kehormatan seorang Muslim) ini termasuk salah satu dosa yang terbesar, karena Nabi SAW mengategorikannya sebagai “Salah satu riba yang paling parah”. Dalam hadits Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah SAE menceritakan: “Ketika aku dibawa Mi’raj, aku melewati sekelompok orang yang berkuku tembaga sedang mencakar-cakar muka dan dada mereka. Lalu aku bertanya: Siapakah mereka itu, Wahai Jibril? Jibril menjawab: Mereka adalah orang-orang yang menggunjing keburukan dan menista kehormatan orang lain” (HR Abu Dawud).
Sebagaimana diharamkan mengatakan ghibah, haram juga mendengarkannya. Allah SWT saat menyebutkan sifat sebagian orang yang dipuji-Nya berfirman: “Dan apabila mereka mendengar perkataan yang buruk, mereka berpaling darinya dan berkata, “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amal kamu, semoga selamatlah kamu, kami tidak ingin (bergaul) dengan orang-orang bodoh” (QS al Qashash: 55).
Allah juga berfirman: “… dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya” (QS al Furqan: 72)
Nabi SAW bersabda “Barangsiapa yang membela kehormatan dan harga diri saudaranya, maka Allah akan menyelamatkan wajahnya dari api neraka kelak pada hari kiamat” (HR at-Tirmidzi) Oleh karena itu, tidak boleh mendengarkan ghibah dengan sengaja dan seksama, bukan semata terdengar.
Jadi seseorang yang mendengar orang lain melakukan ghibah yang diharamkan serta mendengar penodaan terhadap kehormatan dan harga diri orang lain, maka ia wajib melarangnya dengan kekuatan dan kekuasaannya jika mampu. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu maka dengan hatinya, yakni dengan membenci di hati perkara mungkar tersebut serta meninggalkan tempat dilakukannya ghibah. Dengan begitu ia selamat dari dosa.
Sahabat Abu Hurairah berkata: “Salah seorang di antara kalian melihat kotoran yang jatuh di mata saudaranya dan lalai terhadap seonggok kayu yang tinggi dan besar di matanya sendiri” (Diriwayatkan al Bukhari dalam al Adab al Mufrad).
Apa yang disampaikan sahabat Abu Hurairah RA serupa dengan peribahasa “Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak”. Artinya aib dan kesalahan diri sendiri walaupun besar seringkali tidak kita sadari, sedangkan aib dan kesalahan orang lain tampak jelas dalam pandangan kita walaupun kecil dan sedikit. Karenanya, hendaklah kita menyibukkan diri dengan aib dan kesalahan sendiri. Kita berupaya terus untuk memperbaiki diri. Janganlah kita usil dengan aib dan keburukan orang lain. Janganlah kita bicarakan keburukan orang lain, karena seringkali keburukan orang lain yang kita bicarakan ada pada diri kita juga. Membicarakan keburukan orang lain hanya akan menimbulkan pertengkaran dan permusuhan di tengah-tengah masyarakat.
Karena itu hendaklah selalu diingat setiap saat oleh pelaku ghibah bahwa ia berhak mendapatkan siksa dari Allah jika tidak bertaubat dari dosanya.
Jika omongan ghibah sampai ke orang yang dibicarakan keburukannya, maka wajib bagi pelaku ghibah untuk meminta maaf kepadanya agar sah taubatnya. Sedangkan jika omongan ghibah belum sampai ke orang yang dibicarakan keburukannya, maka cukup bagi pelaku ghibah untuk bertaubat tanpa memberitahukan omongan ghibahnya kepada yang bersangkutan.
Pada hari kiamat kelak, seseorang yang menzalimi dan menggunjing orang lain dan ia belum bertaubat sampai meninggal, pahalanya akan diambil dan diberikan kepada orang yang ia zalimi. Jika seluruh pahalanya telah habis, sedangkan tanggungan kezalimannya belum terselesaikan, maka dosa-dosa orang yang ia zalimi akan dilemparkan kepadanya lalu ia dilemparkan ke dalam api neraka (HR Muslim). Na’udzu billah min dzalik.
Editor : Ahmad Hilmiddin