PROBOLINGGO, iNewsProbolinggo.id - Pemindahan Car Free Day (CFD) dari kawasan Alun-Alun ke Jalan Suroyo oleh Pemerintah Kota Probolinggo menuai tanggapan dari sejumlah pihak. Meski pemindahan ini bersifat sementara karena proyek revitalisasi Alun-Alun dan GOR A. Yani, sejumlah gereja yang berada di ruas jalan tersebut menyampaikan kekhawatiran.
Tiga gereja yang terdampak langsung oleh kebijakan ini adalah Gereja Katolik Paroki Maria Bunda Karmel, Gereja Kristen Toraja (GKT) Sola Gratia, dan Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) atau Gereja Merah. Ketiganya khawatir aktivitas CFD pada hari Minggu dapat mengganggu kelancaran akses dan kekhusyukan ibadah jemaat.
Menanggapi hal tersebut, Wali Kota Probolinggo dr Aminuddin memastikan bahwa kegiatan keagamaan tidak akan terganggu.
Ia mengaku telah meminta Dinas Perhubungan dan Satpol PP untuk menjalin komunikasi intensif dengan pengurus gereja.
“Kami pastikan CFD tidak menghambat akses peribadatan. Sudah saya instruksikan agar lalu lintas di sekitar lokasi tetap lancar, terutama bagi jemaat lanjut usia dan anak-anak,” ujar Aminuddin, Rabu malam (23/7/2025).
Ia menjelaskan, pemindahan CFD ini adalah langkah sementara selama proyek penataan kawasan Alun-Alun dan GOR A. Yani berlangsung.
Setelahnya, seluruh aktivitas Pasar Minggu akan dipusatkan di GOR A. Yani yang disiapkan menjadi zona PKL dan ruang publik baru yang terkoneksi dengan museum.
Suara dari Gereja: Harapannya Sederhana, Ibadah Tetap Nyaman
Dari pihak gereja, sikap kehati-hatian disampaikan Pendeta Wiwik dari GPIB Kota Probolinggo. Ia menjelaskan bahwa pihaknya telah menyampaikan surat dan juga berdialog langsung dengan Wali Kota terkait kekhawatiran tersebut.
“Kami tidak menolak CFD, hanya berharap ibadah tetap bisa berjalan lancar. Jalan Suroyo adalah satu-satunya akses utama jemaat kami,” katanya.
Menurutnya, kehadiran ratusan pedagang dan pengunjung setiap Minggu pagi berpotensi menimbulkan kemacetan, menghalangi jemaat masuk, hingga membatasi ruang parkir yang tersedia di dalam halaman gereja. Meski begitu, ia mengapresiasi perhatian wali kota terhadap isu tersebut.
“Pak Wali menyampaikan bahwa kendaraan jemaat tetap bisa masuk halaman, khususnya untuk lansia dan anak-anak. Kita tunggu saja bagaimana pelaksanaannya di lapangan,” imbuhnya.
Romo Agis dari Gereja Katolik Paroki Maria Bunda Karmel juga menyatakan hal serupa. Selama ini, kata dia, jemaat memarkir kendaraan di halaman Markas Polisi Militer yang berada di sebelah utara gereja. Namun dengan CFD, pengaturan parkir akan dialihkan ke halaman kantor Satpol PP.
“Kami mendukung program pemerintah, asal kegiatan ibadah tidak terganggu dan keamanan tetap terjaga,” ujarnya.
Pendeta GKT: Negara Harus Utamakan Hak Beribadah
Sikap yang lebih kritis datang dari Pendeta Gunawan, pengurus Gereja Kristen Toraja (GKT) Sola Gratia. Ia melihat persoalan ini tidak sekadar soal parkir atau kemacetan, tapi menyentuh pada hak konstitusional setiap warga negara untuk beribadah.
“Bagi kami, akses ke rumah ibadah adalah hak dasar. Pemerintah punya kewajiban konstitusional untuk melindungi itu,” tegasnya.
Ia menyoroti kelompok jemaat yang rentan seperti anak-anak dan lansia. Mereka biasanya diantar-jemput dengan kendaraan, dan bila akses kendaraan tertutup karena CFD, maka secara langsung hak ibadah mereka akan terdampak.
“Kalau sampai mobil tidak bisa masuk dan menurunkan jemaat lansia atau anak-anak, maka itu jelas melanggar hak yang dijamin oleh UUD 1945,” ujarnya.
Meski demikian, ia menegaskan tidak menolak CFD dan tetap mendukung program pemerintah selama pelaksanaannya tidak mengorbankan hak pihak lain.
Sementara, Tapi Harus Seimbang
Pemkot Probolinggo menegaskan bahwa CFD di Jalan Suroyo hanya berlangsung selama revitalisasi Alun-Alun dan GOR A. Yani berlangsung.
Setelah revitalisasi rampung, seluruh kegiatan Pasar Minggu akan dipusatkan di kawasan GOR A. Yani yang akan dijadikan zona PKL modern sekaligus ruang wisata edukasi yang terhubung dengan museum kota.
Di tengah semangat menata kota dan menghidupkan ekonomi lokal, Pemerintah Kota Probolinggo dihadapkan pada tantangan klasik: bagaimana menyeimbangkan kepentingan publik dengan hak dasar warga.
Bagi para pemuka agama, harapannya sederhana—ibadah tetap nyaman, akses tidak terhalang, dan jemaat bisa tenang menjalankan kewajibannya setiap akhir pekan.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait