Filosofi bisnis keluarga ini dipengaruhi oleh Numerologi China, di mana angka 2, 3, dan 4 pada bungkus rokok tersebut melambangkan kesempurnaan. Total angka-angka tersebut jika dijumlahkan akan menghasilkan 9. Oleh karena itu, ejaan "Sampoerna" terus digunakan. Jumlah huruf dalam "Sampoerna" adalah 9, dan jika diganti dengan "Sampurna" maka hanya akan ada 8 huruf.
Bisnis rokok keluarga ini semakin berkembang dari tahun ke tahun. Pada awal tahun 1940-an, produksi kretek mesin dan kretek tangan dari Sampoerna mencapai 3 juta batang per minggu. Namun, setelah pendudukan Jepang di Indonesia, bisnis keluarga ini terganggu.
Pendudukan Jepang merupakan masa sulit bagi orang Tionghoa di Indonesia. Selain kehilangan harta benda akibat kebijakan fasis Jepang, Seeng Tee juga ditahan oleh militer Jepang dan dipaksa untuk kerja paksa di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Setelah Perang Pasifik berakhir pada tahun 1945, Liem Seeng Tee akhirnya bisa bersatu kembali dengan keluarganya.
Pada saat itu, Seeng Tee berusia 52 tahun. Ia bangkit kembali dan mulai menjual kembali Djie Sam Soe 234. Usahanya mulai pulih pada tahun 1949, dengan jumlah karyawan yang meningkat kembali dan produknya kembali mendominasi pasar.
Pada tahun 1950-an, pengaruh komunis di kalangan karyawan juga mengganggu bisnis kreteknya. Seeng Tee meninggal pada tanggal 10 Agustus 1956, diikuti oleh Siem Tjiang Nio pada bulan Februari 1955.
Editor : Sazili Mustofa
Artikel Terkait