PROBOLINGGO, iNewsProbolinggo.id - Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam (SAW) tidak menunjukkan identitas Ibnu Shayyad secara detail. Hal ini disebabkan Nabi tidak menerima wahyu yang menyatakan apakah Ibnu Shayyad adalah Dajjal atau entitas lainnya.
Namun sebagai catatan, ‘Umar pernah bersumpah di depan Nabi bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal, dan Nabi Muhammad tidak menyangkalnya.
Sejumlah Sahabat sepakat dengan pendapat ‘Umar dan bersumpah bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal. Ini tercatat dari pernyataan Jabir, Ibnu ‘Umar, dan Abu Dzarr Radhiyallahu anhum.
Muhammad bin al-Munkadir dalam sebuah hadits menyampaikan, “Saya melihat Jabir bin ‘Abdillah Radhiya’llahu anhuma bersumpah atas Nama Allah bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal.” Ketika ditanya, “Apakah Anda bersumpah atas Nama Allah?!” Dia menjawab, “Saya mendengar ‘Umar bersumpah di hadapan Nabi Muhammad, dan Nabi tidak menyangkalnya.”
Dikisahkan oleh Nafi’rahimahullah, ia menyatakan, “Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma pernah mengatakan, ‘Demi Allah, saya tidak meragukan bahwa al-Masihud Dajjal adalah Ibnu Shayyad.’”
Dari Zaid bin Wahb, ia mengungkapkan, “Abu Dzarr Radhiyallahu anhu mengatakan, ‘Saya lebih suka bersumpah sepuluh kali dengan menyatakan bahwa Ibnu Shayyad adalah Dajjal daripada hanya bersumpah sekali menyatakan bahwa dia bukan Dajjal.’”
Dari Nafi’, Ibnu ‘Umar bertemu dengan Ibnu Shaid di salah satu jalan di Madinah. Dia menyampaikan kata-kata yang membuat Ibnu Shaid marah dan memicu keributan di jalan tersebut. Kemudian, Ibnu ‘Umar mendatangi Hafshah dan menceritakan kejadian itu padanya. Hafshah kemudian berkata, “Semoga Allah memberkatimu! Apa yang kamu harapkan dari Ibnu Sha-id?! Tidakkah kamu tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Dia hanya muncul karena kemarahan yang dia benci?!’”
Dalam satu riwayat dari Nafi, dia mengatakan bahwa Ibnu 'Umar berkata, "Aku bertemu dengannya dua kali. Pada pertemuan pertama, aku bertanya kepada beberapa sahabat Ibnu Shayyad, 'Apakah kalian menganggapnya sebagai Dajjal?' Mereka menjawab, 'Tidak, demi Allah.' Ibnu 'Umar mengatakan, 'Kalian telah berbohong. Demi Allah, sebagian dari kalian telah memberi tahu bahwa dia tidak akan mati sampai menjadi orang terkaya dan memiliki anak terbanyak di antara kalian. Begitulah anggapan tentangnya sampai hari ini.' Kami berdiskusi kemudian meninggalkannya."
"Ibnu 'Umar bertemu dengannya lagi pada kesempatan lain, dan matanya sudah membengkak. Aku bertanya, 'Sejak kapan matamu seperti ini?' Dia menjawab, 'Tidak tahu.' Aku berkata, 'Tidak mungkin engkau tidak tahu kondisi matamu sendiri.' Dia menjawab, 'Jika Allah menghendaki, Dia bisa membuat hal ini pada tongkatmu.' Dia menghembuskan napas keras seperti dengusan keledai. Beberapa sahabatnya mengira aku telah memukulnya dengan tongkatku hingga matanya cidera, tapi demi Allah, aku tidak merasakan melakukan itu."
"Nafi melanjutkan, 'Dia kemudian pergi kepada Ummul Mukminin (Hafshah) dan menceritakannya. Hafshah bertanya, 'Apa yang engkau inginkan darinya? Tidakkah engkau tahu bahwa Nabi pernah bersabda, 'Sesungguhnya penyebab pertama yang akan membuatnya muncul di antara manusia adalah kemarahan yang memicunya.'"
Ibnu Shayyad mendengarkan pembicaraan orang-orang tentang dirinya, dan itu sangat menyakitinya. Dia membantah bahwa dia bukanlah Dajjal, dan dia menggunakan argumen bahwa sifat-sifat yang disampaikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang Dajjal tidak cocok dengan keadaannya.
Dijelaskan dalam sebuah hadits dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Kami pernah keluar untuk melakukan haji atau umrah dan Ibnu Shaid ikut bersama kami, kemudian kami singgah. Selanjutnya orang-orang berpisah sementara aku bersamanya. Aku merasa sangat takut karena apa yang dikatakan manusia tentangnya.” (Abu Sa’id) berkata, “Dia datang dengan perbekalannya, lalu dia meletakkannya bersama perbekalanku.” Aku berkata kepadanya, “Udara sangat panas, sebaiknya engkau meletakkannya di bawah pohon itu,” (Abu Sa’id) berkata, “Akhirnya dia melakukannya.” Kemudian kami diberikan satu ekor kambing, lalu dia pergi dan kembali dengan membawa satu wadah besar, dia berkata, “Minumlah wahai Abu Sa’id!” Aku berkata, “Sesungguhnya udara sekarang ini panas sekali, dan susu itu juga panas,” sebenarnya tidak ada masalah bagiku, hanya saja aku tidak ingin meminum sesuatu yang berasal dari tangannya, (atau dia berkata) mengambil dari tangannya,” lalu dia berkata, “Wahai Abu Sa’id, sebelumnya aku hendak mengambil tali, lalu menggantung-kannya di pohon, kemudian aku ikat leherku karena (merasa sakit hati) terhadap segala hal yang dikatakan oleh manusia. Wahai Abu Sa’id, siapakah yang tidak mengetahui hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada sesuatu yang tersem-bunyi dari kalian wahai orang-orang Anshar. Bukankah engkau orang yang paling mengetahui hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ber-sabda, ‘Dia (Dajjal) adalah orang kafir,’ sementara aku adalah seorang muslim? Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda bahwa dia (Dajjal) adalah orang yang tidak memiliki anak, sementara aku telah meninggalkan anak-anakku di Madinah? Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda bahwa dia (Dajjal) tidak akan pernah memasuki Madinah dan Makkah, sementara aku datang dari Madinah menuju Makkah?” Abu Sa’id al-Khudri berkata, “Hampir saja aku menerima alasannya,” kemudian dia berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku mengenalnya dan mengetahui tempat kelahirannya, dan di mana dia sekarang.” Abu Sa’id berkata, “Aku berkata kepadanya, ‘Celakalah engkau pada hari-harimu
Dalam satu riwayat lain, Ibnu Shayyad berkata, “Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui di mana dia (Dajjal) sekarang, dan mengenal bapak juga ibunya.” (Perawi berkata) dikatakan kepadanya, “Apakah engkau senang jika engkau adalah dia?” Dia menjawab, “Jika ditawarkan kepadaku, maka aku tidak akan membencinya.”
Sebenarnya masih ada beberapa riwayat yang menjelaskan keadaan Ibnu Shayyad. Kami sengaja tidak mengungkapkan agar tidak memperpanjang pembahasan, karena sebagian peneliti seperti Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, dan yang lainnya menolak riwayat-riwayat tersebut karena kelemahan sanadnya.
Masalah Ibnu Shayyad terasa rancu bagi sebagian ulama dan masalahnya menjadi sulit bagi mereka. Sebagian mereka mengatakan bahwa dia adalah Dajjal dan berhujjah dengan dalil sebelumnya, yaitu sumpah sebagian Sahabat yang menyatakan bahwa dia adalah Dajjal, dan dengan peristiwa yang terjadi antara dia dengan Ibnu ‘Umar juga Abu Sa’id Radhiyallahu anhum. Sementara sebagian lain-nya berpendapat bahwa dia bukanlah Dajjal, mereka berhujjah dengan hadits Tamim ad-Dari Radhiyallahu anhu. Sebelum mengungkapkan pendapat kedua kelompok itu, kami akan menuturkan hadits Tamim ad-Dari yang panjang.
Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya kepada Amir bin Syarahil asy-Sya’bi -kabilah Hamdan- bahwasanya ia bertanya kepada Fathimah binti Qais, saudari adh-Dhahhak bin Qais, -dia adalah salah seorang wanita yang ikut pada hijrah yang pertama- dia berkata, “Ceritakanlah kepadaku satu hadits yang engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak engkau sandarkan kepada seorang pun selain beliau!” “Jika engkau mau, maka aku akan melakukannya,” Jawabnya. Dia berkata, “Tentu saja, ceritakanlah kepada-ku.” Akhirnya dia menceritakan bagaimana dia menjanda dari suaminya, dan bagaimana ia melakukan ‘iddah di rumah Ibnu Ummi Maktum,
kemudian dia berkata, “Setelah masa ‘iddahku selesai, aku mendengar panggilan penyeru Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Shalat berjama’ah,’ lalu aku pergi menuju masjid dan melaku-kan shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu aku berada di shaff para wanita yang dekat dengan barisan kaum (pria). Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelesaikan shalatnya, beliau duduk di atas mimbar sambil tersenyum, lalu berkata, “Hendaklah setiap orang tetap pada tempat shalatnya!” Selanjutnya beliau bersabda, “Apakah kalian tahu mengapa aku mengumpulkan kalian?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku tidak mengumpulkan kalian untuk menyampaikan kabar gembira atau kabar buruk, akan tetapi aku mengumpulkan kalian karena Tamim ad-Dari sebelumnya adalah seorang Nasrani, lalu dia datang, melaku-kan bai’at dan masuk Islam. Dia menceritakan kepadaku sebuah cerita yang sesuai dengan apa yang aku ceritakan kepada kalian tentang Masihud Dajjal. Dia menceritakan kepadaku bahwa dia pernah menaiki sebuah kapal laut ber-sama 30 orang yang berpenyakit kulit dan kusta. Mereka terombang ambing oleh ombak selama satu bulan di tengah lautan hingga akhirnya terdampar pada sebuah pulau di arah terbenamnya matahari. Mereka menaiki kapal kecil (sampan), lalu mereka masuk ke dalam pulau. Selanjutnya binatang dengan berbulu lebat menemui mereka, mereka tidak mengetahui mana depan juga mana belakangnya karena bulunya lebat, mereka berkata, ‘Celaka! Siapa engkau?’ Dia menjawab, ‘Aku adalah al-Jassasah.’ Mereka bertanya, ‘Apakah al-Jassasah itu?’ Dia berkata (tanpa menjawab), ‘Wahai kaum! Pergilah kepada orang yang berada di dalam kuil ini, karena dia sangat merindukan berita dari kalian.’ (Tamim ad-Dari) berkata, ‘Ketika binatang itu menyebutkan seseorang kepada kami, maka kami pun meninggalkannya karena kami takut jika dia adalah syaitan.’ Dia berkata, ‘Akhirnya kami cepat-cepat pergi hingga kami memasuki kuil, ternyata di dalamnya ada orang yang sangat besar dan diikat dengan sangat kuat yang pertama kali kami lihat. Kedua tangannya dibelenggu sampai ke lehernya, antara kedua lututnya hingga kedua mata kakinya dirantai dengan besi, kami berkata, ‘Celaka, siapa engkau?’ Dia berkata, ‘Kalian telah ditakdirkan untuk membawa kabar untukku, kabarkanlah siapa kalian?’ Me-reka menjawab, ‘Kami adalah manusia dari bangsa Arab, kami menaiki kapal laut, lalu kami mendapati laut dengan ombaknya sedang mengamuk, kami terombang ambing oleh ombak selama satu bulan di tengah lautan hingga terdampar di pulau ini, kemudian kami menaiki sampan, lalu kami masuk ke pulau ini, selanjutnya binatang dengan berbulu lebat menemui kami, kami tidak mengetahui mana depan juga mana belakangnya karena bulunya sangat lebat. Kami berkata, ‘Celaka! Siapa engkau?’ Dia menjawab, ‘Aku adalah al-Jassasah.’ Kami bertanya, ‘Apakah al-Jassasah itu?’ Dia berkata (tanpa men-jawab), ‘Pergilah kepada orang yang berada di dalam kuil ini karena dia sangat merindukan berita dari kalian,’ akhirnya kami pun segera mendatangimu. Kami merasa kaget dan takut kepadanya, dan mengira bahwa dia adalah syaitan.’ Dia berkata, ‘Kabarkanlah kepadaku tentang pohon kurma di Baisan?’[13] Kami berkata, ‘Apa yang engkau tanyakan tentangnya?’ Dia menjawab, ‘Aku ber-tanya kepada kalian tentang buahnya, apakah dia masih berbuah?’ Kami men-jawab, ‘Ya (masih berbuah).’ ‘Hampir saja dia tidak berbuah lagi,’ katanya. Dia berkata, ‘Kabarkanlah kepadaku tentang danau Thabariyah?’ Kami berkata, ‘Apa yang engkau tanyakan tentangnya?’ Dia menjawab, ‘Apakah masih ada airnya?’ Mereka menjawab, ‘Danau itu masih banyak airnya.’ “’Hampir saja airnya kering,’ katanya. Dia berkata, ‘Kabarkanlah kepadaku tentang mata air Zughar[14]?’ Mereka berkata, ‘Apa yang engkau tanyakan tentangnya?’ Dia menjawab, ‘Apakah mata air tersebut masih mengalir? Dan apakah penduduk-nya masih bercocok tanam dengan airnya?’ Kami menjawab, ‘Betul, airnya masih banyak dan penduduknya masih bercocok tanam dengan airnya.’ Dia bertanya, ‘Kabarkanlah kepadaku tentang Nabi orang-orang yang ummi, apa yang dia lakukan?’ Mereka menjawab, ‘Dia telah berhijrah dari kota Makkah dan singgah di Yastrib (Madinah).’ ‘Apakah orang-orang memeranginya?’ Tanya dia. ‘Betul,’ jawab kami. Dia bertanya, ‘Apa yang dia lakukan terhadap mereka?’ Lalu kami pun mengabarkan kepadanya bahwasanya dia telah menolong orang-orang yang mengikutinya dan mereka pun taat kepadanya.’ Dia berkata kepada mereka, ‘Apakah benar seperti itu?’ Kami menjawab, ‘Betul.’ Dia berkata, ‘Sesungguhnya lebih baik bagi mereka untuk mentaatinya, dan aku kabarkan kepada kalian sesungguhnya aku adalah al-Masih (Dajjal), dan hampir saja aku diizinkan untuk keluar hingga aku bisa keluar, lalu aku akan berkelana di muka bumi, maka aku tidak akan pernah meninggalkan satu kampung pun melainkan aku menyinggahinya dalam waktu empat puluh malam, selain Makkah dan Thaibah (Madinah), keduanya diharamkan atasku. Setiap kali aku hendak masuk ke salah satu darinya, maka para Malaikat akan menghadangku dengan pedang yang terhunus yang menghalangiku dengannya, dan pada setiap lorong-lorong kedua kota tersebut ada seorang Malaikat yang menjaganya.’”
Dia (Fathimah) berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda -sambil menusukkan tongkat kecilnya di mimbar-, ‘Inilah Thaibah, inilah Thaibah, inilah Thaibah -yakni Madinah- ingatlah bukankah aku pernah mengatakan hal itu kepada kalian?” Lalu orang-orang berkata, “Benar.” “Sungguh cerita yang diungkapkan oleh Tamim telah membuatku kagum karena ia sesuai dengan apa yang pernah aku ceritakan kepadanya, tentang Madinah dan Makkah. Ketahuilah sesungguhnya dia (Dajjal) berada di lautan Syam, atau lautan Yaman. Oh tidak, tetapi berada dari arah timur, dari arah timur, dari arah timur,’ (dan beliau memberikan isyarat dengan tangannya ke arah timur).”
Dia (Fathimah) berkata, “Maka aku hafal hal ini dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sebagian ulama beranggapan bahwa hadits Fathimah ini gharib yang hanya diriwayatkan oleh perorangan. Padahal ti-dak demikian. Sebab, selain Fathimah juga diriwayatkan dari Abu Hurairah, ‘Aisyah, dan Jabir
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait