JAKARTA, iNewsProbolinggo.id - Niat sholat ghaib untuk Palestina. Perang Palestina vs Israel masih terus berlanjut di Gaza dan korban wafat untuk Muslim Palestina terus bertambah.
Sementara sholat ghaib adalah ibadah yang berdasarkan hadis sahih yang tercatat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, mengenai peristiwa ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan sholat jenazah untuk Raja Najasi yang berada di wilayah Nasrani.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ خَرَجَ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ أَرْبَعًا
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian An-Najasyi pada hari kematiannya. Kemudian beliau keluar menuju tempat shalat lalu beliau membariskan shaf kemudian bertakbir empat kali.” (HR. Bukhari no. 1337)
Selanjutnya, berlakunya hadis tersebut bersifat umum, tidak hanya terbatas pada Nabi, melainkan berlaku untuk seluruh umat Muhammad shalallahu alaihi wa sallam. Kesimpulan fikih ini dianut oleh mayoritas ahli fikih (jumhur), berbeda dengan pendapat yang diambil oleh Mazhab Hanafi dan Maliki.
Pertanyaan yang menjadi fokus diskusi di kalangan mayoritas ahli fikih adalah mengenai kriteria jenazah yang dapat dishalati secara ghaib:
1. Shalat ghaib berlaku bagi semua jenazah yang tidak hadir di tengah-tengah kita (ghaib). Pendapat ini diikuti oleh para ulama dari mazhab Syafi'i dan Hambali.
2. Sholat ghaib hanya untuk orang yang telah berjasa banyak kepada kaum muslimin. Seperti ulama, mujahid, tokoh, pemimpin, atau orang kaya yang harta banyak didermakan untuk Islam. Pendapat ini adalah salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad, dan dinilai kuat oleh Syekh Abdurrahman As-Sa’di dan Lajnah Da-imah KSA.
3. Shalat ghaib hanya dimaksudkan untuk jenazah muslim yang tidak ada seorang pun yang mensholatinya. Salah satu riwayat dari Imam Ahmad mengaitkan pendapat ini kepada beliau. Pendapat ini dianggap kuat oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim. Salah satu ulama terkini yang cenderung mengikuti pendapat ini adalah Syekh Ibnu ‘Utsaimin.
Editor : Vitrianda Hilba SiregarEditor Jakarta
Artikel Terkait