PROBOLINGGO, iNews.id - Siapa yang tak kenal dengan KH. Hafidzul Hakiem Noer atau yang biasa dipanggil Gus Hafid, ia merupakan Khodimul Majlis Syubbanul Muslimin.
Hafidzul Hakiem Noer lahir dari pasangan Alm. KH. Nuruddin dan Hj. Umi Salamah dan terlahir ditengah keluarga pesantren. Sejak kecil, ia terbiasa dengan pembelajaran Islam di Pondok Pesantren Nurul Qodim, Kalikajar, Paiton, Kabupaten Proboinggo.
"Memang dari kecil, didikan saya ada di pesantren Di Pondok Pesantren Nurul Qodim. Pesan abah yang diwariskan kepada putra-putrinya ada dua. Pertama ilmu dan kedua adalah istiqomah dalam beribadah. Kata abah, tidak punya dunia tidak apa-apa. Tapi kalau punya dua ini, Insya Allah selamat dunia akhirat," ujar pria kelahiran Probolinggo, 20 Januari 1985 ini.
Gus Hafidz lulus dari MI Nurul Quran tahun 1994-1995. Ia kemudian bertekad untuk memperdalam ilmu agamanya dengan mondok di Lirboyo. Ia pun berangkat ke Kediri dan mondok di Ponpes Lirboyo dari tahun 1996 hingga 2005. Di sana ia menamatkan pendidikan MTs dan MA.
"Setelah masuk Pondok Pesantren Lirboyo selama 11 tahun. Kemudian saya tiga tahun berkuliah di Rubath Tarim, di Tarim, Hadramaud Yaman," tutur suami Kuntum Fiamalilah ini.
Selama mondok, satu hal yang selalu diingat Gus Hafidz adalah uswah dari gurunya. Uswah atau keteladanan seperti dicontohkan gurunya itu pula yang membuat Gus Hafidz selalu ingat pesan-pesan gurunya.
"K.H. Abdul Karim Lirboyo, Kediri, beliau itu setiap harinya puasa. Pada saat berbuka dan sahur hanya makan satu sendok, hanya untuk menirakati santri-santrinya. Pesan beliau yang saya ingat itu, kalau jadi santri jangan lupa ngadep dampar. Artinya jangan lupa memberikan ilmu yang didapatkan. Apapun profesi kamu terserah. Mau PNS, petani harus menyebarkan ilmu yang dimilik," jelasnya.
Begitupun ketika di Yaman, Gus Hafidz belajar kepada Habib Salim Al Assyatiri dan Habib Umar bin Hafidz. Kedua gurunya itu selalu mengingatkan untuk Hafidz terus berdakwah. "Di mana itu merupakan pondasi Islam sesungguhnya," imbuh pria yang hobi gowes dan bersepeda motor trail itu.
Pada saat dirinya belajar ke Yaman, kakaknyalah yang meneruskan perjuangannya. Pada saat Gus Hafidz kembali pada tahun 2009, Ia kembali mengurus Syubbanul Muslimin.
"Alhamdulillah sekarang jamaah pada malam Sabtu sekira 5.000 sampai 10.000 jamaah. Dan ini sudah menjadi rutinan. Nama Syubbanul Muslimin sendiri merupakan nama yang di usulkan abah saya, artinya pemuda Islam," ceritanya bangga.
Melalui Syubbanul Muslimin, Gus Hafidz berdakwah melalui lagu. Mereka juga pernah diundang hampir ke seluruh provinsi di Indonesia.
"Bahkan kami pernah diundang ke China, Singapura, Malaysia, Hongkong dan Taiwan. Kita dakwah bukan hanya lagu, tapi melalui media sosial. Melalui channel Youtube dengan subscribers ada sekira 2,7 jutaan lebih. Income kita di YouTube bisa mencapai Rp 20 sampai 40 juta per bulannya," tambahnya.
Namun uang tersebut, lanjut Hafidz, digunakan untuk membiaya majlis taklim rutinan Syubbanul Mudlimin itu sendiri. Termasuk membeli alat dan kebutuhan lainnya.
"Kalau ingat tahun 2011 dulu pernah dicaci-maki karena sholawatan. Apalagi tahun baru kok disholawati menurut orang di sana. Ya jatuh bangunlah mulai dari jamaah yang meninggal saat acara dan peristiwa lainnya. Namun sekarang yang paling penting kami tetap istiqomah berdakwah melalui beragam cara," ujarnya.
Editor : Ahmad Hilmiddin