PROBOLINGGO, iNewsProbolinggo.id – Ada yang beda dari cara para santri Pondok Pesantren Bani Rancang, Sumberasih, Kabupaten Probolinggo, dalam merayakan Hari Raya Idul Adha. Kalau umumnya orang membakar sate dalam jumlah kecil, para santri di sini justru bikin sate dalam skala luar biasa panjang. Namanya? Sate Lanjeng yang dalam bahasa Madura berarti sate panjang.
Tradisi ini rutin digelar setiap tahun. Panggangan dibikin memanjang 50 meter, terbagi dua: 25 meter buat santri putra, 25 meter buat santri putri. Bisa dibayangkan, betapa semarak dan kompaknya suasana malam bakar-bakar ini.
Senin malam, 9 Juni 2025, sekitar pukul 19.00 WIB, para santri sudah bersiap. Dengan pakaian putih dan bawahan gelap, mereka berjejer sambil mengipasi tusukan sate di atas bara panas.
Panggangannya dibuat dari bata dan semen, seperti tungku panjang yang memang sudah diwariskan secara turun-temurun.
Daging yang dibakar berasal dari 40 ekor kambing kurban yang khusus disisihkan untuk konsumsi para santri. Tahun ini, total hewan kurban di Bani Rancang mencapai 90 ekor kambing dan dua ekor sapi.
Sebagian besar dibagikan ke masyarakat, tapi sebagian lainnya dinikmati bersama di pondok—sebagai bentuk syukur dan kebersamaan.
Selesai memanggang, giliran makan bersama. Di sinilah muncul tradisi poloan: makan rame-rame pakai alas daun, duduk bareng di lantai madrasah.
Menu sederhananya nasi, sate, dan telur rebus. Tapi rasanya? Spesial banget, karena dimakan bareng sahabat sepondok.
Salah satu santri, Maulidatun Nabila (19), bilang kalau ini momen yang paling ditunggu tiap tahun.
“Alhamdulillah tahun ini bisa ikut lagi. Sate lanjeng tuh bukan soal satenya aja, tapi soal suasananya yang hangat dan rame. Makan bareng teman-teman bikin rasanya beda,” ceritanya sambil tersenyum.
Ternyata, tradisi ini juga punya filosofi yang dalam. Menurut Ketua Pengurus Ponpes, Suhud Al-Fauzi, sate lanjeng bukan sekadar sate panjang, tapi simbol dari semangat menuntut ilmu sepanjang hidup—Kulli Hayat.
“Panjang sate itu seperti perjalanan menuntut ilmu. Jangan pernah berhenti belajar, di mana pun, sampai akhir hayat,” katanya.
Begitu juga dengan poloan, yang mengajarkan pentingnya hidup sederhana dan saling berbagi.
“Santri itu harus terbiasa hidup sederhana, tapi tetap solid dan saling peduli,” tambah Suhud.
Tahun ini juga spesial karena para santri sempat terhubung dengan pengasuh pondok, Gus Agus Hasan Muktasim Billah, yang sedang menunaikan ibadah haji. Dari Tanah Suci, beliau menitipkan doa agar para santri diberkahi dan terus semangat menuntut ilmu.
“Semoga berkah kurban tahun ini membawa semangat baru untuk terus belajar dan hidup dalam keberkahan,” ucap beliau.
Jadi, sate lanjeng bukan Cuma tentang sate. Ia adalah rasa syukur, semangat belajar, dan kebersamaan yang tumbuh kuat di hati para santri.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait