PROBOLINGGO, iNewsProbolinggo.id - Di Dusun Bandaran, Desa Jabungsisir, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo terdapat salah satu sumur yang airnya sangat tawar dan menyegarkan meski berada dekat dengan bibir pantai, jaraknya hanya sekitar 5 meter.
Sumur yang saat ini dimanfaatkan warga untuk menimba air itu merupakan peninggalan KH. Hasyim Mino atau biasa dipanggil Kyai Mino yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Nurul Qadim Desa Kalikajar Kulon, Kecamatan Paiton.
Sumur yang dikenal sebagai sumur bedulen itu dipercaya dibangun pada tahun 1952. Saat itu wilayah sekitar kesulitan air bersih bahkan untuk minum saja masyarakat sekitar mengalami kesulitan.
Salah seorang warga setempat Imron menjelaskan, jika wilayah yang ia tempati itu memang berdekatan dengan pantai, sehingga sumur yang digali warga mengeluarkan air asin, dan tidak layak untuk dikonsumsi.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat harus mengambil air dari Desa Jabung Candi, kemudian mengangkutnya ke Desa Jabung Sisir. Bertahun-tahun hal itu dilakukan oleh masyarakat setempat.
"Kesulitan pemenuhan air bersih memang terjadi saat itu. Kalau butuh air untuk minum harus nyo’on (menyunggi, red) dulu dari Desa Jabung Candi" terang pria 54 tahun itu.
Pria kelahiran Dusun Bandaran ini menceritakan, bahwa dulunya Kyai Mino mempunyai tambak dan lahan pertanian yang cukup luas di wilayah tersebut. Melihat kondisi masyarakat yang selalu kebingungan mencari air kemudian memutuskan untuk membangun sumur.
Hingga akhirnya sebuah sumur digali, dan anehnya saat Kyai Mino menggali sumur air yang keluar cukup deras, rasanya tawar, dan menyegarkan. Berbeda dengan sumur yang digali oleh warga yang airnya terasa asin sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.
"Warga sudah beberapa kali mencoba menggali sumur, tetapi hasilnya air yang keluar rasanya asin, berbeda dengan sumur Kyai Mino yang airnya tawar dan segar," terangnya.
Imron menjelaskan, jika sumur memiliki kedalam sekitar 8 meter, tetapi jika dilihat dari atas berjarak 3 meter, permukaan air sudah jelas terlihat. Saat dirinya masih kecil sumur ini memiliki jarak sekitar 300 meter dari bibir pantai.
Namun seiring berjalannya waktu air laut lambat laun naik hingga saat ini hanya berjarak 5 meter dari bibir pantai. Dengan kondisi seperti ini seharusnya air sumur menjadi asin karena air laut rembes. Tetapi tidak dengan sumur bedulen tersebut rasa airnya tetap tawar, jernih dan menyegarkan seperti awal dibangun.
Mulanya air sumur tersebut hanya di fungsikan untuk kebutuhan air minum dan konsumsi. Tetapi karena air bersih merupakan kebutuhan utama masyarakat sehingga terjadilah perluasan fungsi sumur. Masyarakat juga memanfaatkannya untuk mandi dan bersih-bersih.
"ingga saat ini air rasanya masih sama seperti saat saya kecil tidak berubah sama sekali. Saat ini sumur digunakan mayoritas untuk minum dan mandi," jelasnya.
Sementara itu, KH. Hafidzul Hakim Noer atau sapaan akrabnya Gus Hafid cucu KH. Hasyim Mino membenarkan jika sumur memang dibuat oleh kakeknya. Ia menceritakan secara singkat jika Kyai Mino dulunya memang punya tambak dan sawah luasnya sekitar 60 hektar di wilayah Dusun Bandaran.
Kemudian masyarakat sekitar kesulitan untuk mencari air minum. Akhirnya kyai membuat sumur jaraknya cukup dekat dengan laut namun airnya tawar. Beda dengan air sumur yang ada disana.
"Pesan Kyai Mino sumur hanya dibuat minum. Bukan digunakan untuk mandi apalagi memandikan hewan. Tetapi masyarakat sekitar justru memanfaatkan untuk mandi," katanya.
Karena itu, lanjut Gus Hafidz, airnya sempat menjadi asin, namun air sumur kemudian dikuras dan dibenahi hingga kembali tawar lagi.
Editor : Arif Ardliyanto
Artikel Terkait