Tragis Kisah Pelarian Brigjen Soepardjo Raja Terakhir G30S PKI yang Ditangkap di Loteng Rumah Kopral

SM Said
Brigjen Soepardjo merupakan salah satu sosok yang paling dicari setelah peristiwa G30S PKI. Sebagai salah satu perencana dan pelaku utama dalam kudeta gagal itu. Foto Brigjen Soepardjo (baju putih)/Arsip Nasional.

JAKARTA, iNewsProbolinggo.id- Brigjen Soepardjo merupakan salah satu sosok yang paling dicari setelah peristiwa G30S PKI. Sebagai salah satu perencana dan pelaku utama dalam kudeta gagal tersebut, ia berhasil lolos dari penangkapan dalam waktu yang cukup lama. 

Keberhasilannya bersembunyi ini membuat operasi pencariannya menjadi salah satu operasi terbesar dan terlacak dalam sejarah Indonesia.

Dikutif dari akun Youtube @IndonesiaInsider setelah bertahun-tahun menjadi buronan, akhirnya Soepardjo berhasil ditangkap menjelang Lebaran Idul Fitri 1967.

Sang jenderal ditangkap oleh Pasukan Operasi Kalong yang merupakan pasukan sandi operasi yang dibentuk khusus untuk menangkap gembong-gembong G30S PKI.

Jenderal Bintang itu diangkut menggunakan panser ke markas Kodim 0501/Jakarta Pusat. 

Kedua tangannya yang diborgol nampak bergetar keringat mengucur deras dari wajahnya. Brigjen Soepardjo yang bernama lengkap Mustafa Sarif Soepardjo ini berhasil ditangkap setelah hampir 2 tahun dia diburu tentara. 

Dia bagaikan raja terakhir dari gembong-gembong G30S PKI yang belum ditaklukkan. Kemampuan tempur dan intelijennya yang mumpuni membuatnya sulit untuk ditangkap tentara.

Foto-foto dirinya yang bertuliskan Soepardjo ek Brigadir Jenderal TNI gembong Gestapu dan PKI disebar. 

Termasuk berita berita di surat kabar ibu kota namun tetap saja sang jenderal tidak juga tertangkap. 

Soepardjo memang bukan jenderal sembarangan pada saat peristiwa itu terjadi Jenderal bintang satu ini menjabat sebagai Panglima Komando Tempur Keempat Kostrad. Pasukan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat di Kalimantan Barat dalam rangka konfrontasi Malaysia.

Ketika peristiwa G30 SP PKI dia meninggalkan posnya tanpa sepengetahuan Panglima Kostrad Mayjen Soeharto kala itu. Dia bergabung dalam gerakan itu wajar saja Suparjo sulit ditangkap dan licin bagaikan belut pengalaman tempurnya cukup mumpuni. 

Dia memiliki kualifikasi Ranger dan pernah sekolah staf tentara di Pakistan. Sedari muda Soepardjo diketahui telah punya bakat mengatur strategi tempur. John Rosa penulis buku Dalih Pembunuhan Massal menulis kepiawaian Soepardjo mulai terlihat di awal perang Kemerdekaan  di Jawa Barat dia ahli strategi pun teruji ketika membantu penumpasan pemberontakan DI TII di Jawa Barat. 

Saat itu Soepardjo menjadi Komandan Korem Priangan di Garut yang sekitar awal tahun 1960-an menjadi basis DITII. Saat itu untuk memberantas DI TII Soepardjo menerapkan taktik pagar betis dengan melibatkan penduduk sipil untuk melakukan penyisiran. 

Dalam penerapan taktik pagar betis itu Soepardjo mengandalkan bantuan dari kader-kader Partai Komunis Indonesia yang militan. Kedekatan Seopardjo dengan PKI diduga mulai terjalin dalam aktivitasnya memberangus pemberontakan DITII tersebut. 

Setelah peristiwa penculikan para Jenderal TNI AD, Soepardjo lantas menghilang dia terakhir kali terlihat di kawasan Halim Perdana Kusuma pada awal Oktober 1965 ketika semua pimpinan militer gerombolan G 30S sudah tertangkap, Suparjo belum juga tertangkap berkali-kali dia lolos dari sergapan tentara yang memburu dirinya. 

Dalam pelariannya Soepardjo berpindah-pindah tempat. Awalnya dia bersembunyi di sebuah rumah di kawasan Pasar Senen di sana dia berkenalan dengan beberapa anggota PKI. Kemudian dari kenalannya itu Soepardjo diajak menetap di Cilincing Jakarta Utara. 

Selama 4 bulan tinggal di kawasan Cilincing, Soepardjo kemudian berpindah-pindah lagi mulai dari rumah Mayor Laut Suwardi kemudian Kapten Laut Nandang hingga kemudian di rumah Kopral Udara Sutarjo di Komplek AURI Halim Perdana Kusuma. 

Pada 16 Agustus 1966, Kodim 0501/Jakarta Pusat membentuk satuan tugas dengan Sandi Operasi Kalong. Satgas ini dibentuk khusus untuk menangkap Soepardjo satuan tugas ini dipimpin Kapten Suroso dengan delapan anggota Intel dari Kodim-Kodim di wilayah Kodam Jaya. 

Pada 10 Januari 1967 Suparjo diketahui bersembunyi di Komplek KKO Cilincing Jakarta Utara di rumah Mayor Laut Suardi. 

Satgas Operasi Kalong lantas bergegas menyerbu ke Cilincing namun Soepardjo berhasil melarikan diri menuju Halim Perdana Kusuma. Soepardjo menuju kawasan Halim dengan menyamar sebagai pedagang radio keliling. Penyamaran sang jenderal bintang satu ini berpakaian layaknya pedagang keliling berkopiah hitam dan berkacamata. Dia menggunakan nama samaran Ibrahim. 

Di Halim Soepardjo bersembunyi di rumah Kopral Udara Sutarjo. Disini Sutarjo menyiapkan kamar khusus yang berfungsi sebagai kamar kerja sekaligus kamar tidur ada juga sebuah ruangan di atas loteng untuk persembunyian. 

Tapi keberuntungannya berakhir pada 12 Januari 1967 saat Satgas Operasi Kalong bergerak menggerebek persembunyian Jenderal Soepardjo tepat pukul 05.00 WIB . Kapten Suroso dan anak buahnya memeriksa semua sudut rumah Kopral Sutarjo namun buronan yang dicari tidak juga ditemukan.  

Kapten Suroso kemudian memerintahkan Sersan Sukirman dan Peltu Rosadi naik ke atas untuk memeriksa loteng. 

Disana Peltu Rosadi kemudian melihat ada benda putih tergeletak di sudut loteng dia lalu berkata dan menggertak Kalau manusia harap menyerah tetapi kalau bukan akan saya tembak. Kemudian terdengar jawaban dari Brigjen Soepardjo, Iya saya menyerah Soepardjo pun kemudian berhasil ditangkap hidup-hidup dalam setengah jam penggerebekan yang mencekam tersebut. 

Satu bulan setelah ditangkap anggota TNI dengan NRP 11867 ini diadili Soepardjo adalah satu-satunya orang yang dengan jantan mengakui kesalahan-kesalahan fatal G30S PKI itu di muka Mahkamah Militer luar biasa. 

Dalam persidangan seperti ditulis John Rosa dalam buku Dalih Pembunuhan Massal ditemukan dokumen yang memuat analisis Soepardjo tentang berbagai faktor penyebab G30S berakhir gagal. 

Soepardjo menilai G30S PKI dirancang untuk perencanaan yang buruk termasuk
tidak adanya persiapan menghadapi situasi darurat lalu pada 12 Maret 1967 sidang mahkamah militer luar biasa memutuskan vonis mati terhadap dirinya.  

Sebelum dieksekusi mati Soepardjo sempat menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dia juga mengumandangkan azan dari selnya dia menghadapi kematian dengan tenang. 
 

Editor : Suriya Mohamad Said

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network